Penulis : Ariansyah Eka, Ziana Naz
Penyunting: Ziana Naz
Gambar 1. Salah Satu Rangkaian Tradisi Dugderan (Sumber: mangunharjotembalang.semarangkota.go.id)
Lebih dari satu abad yang lalu, masyarakat Semarang telah merayakan upacara penyambutan bulan puasa yang dikenal sebagai Tradisi Dugderan. Tradisi tahunan ini dimulai sejak tahun 1881, tepatnya pada masa pemerintahan Bupati Semarang, Kyai Raden Mas Tumenggung (KRMT).
Pada awalnya, pelaksanaan upacara perayaan ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan mengenai penentuan awal bulan Ramadan di kalangan umat muslim. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak berhenti pada penentuan awal bulan puasa saja, melainkan hari-hari besar Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha, dan lainnya. Khawatir perbedaan ini nantinya berujung pada perselisihan, Purbaningrat yang menjabat sebagai Bupati pada waktu itu mengambil tindakan preventif, yaitu melaksanakan Tradisi Dugderan. Dalam melaksanakan Tradisi Dugderan, sang Bupati dibantu oleh para ulama, salah satunya adalah Kyai Saleh Darat sebagai ulama besar pendiri sebuah pesantren pada waktu itu. Selain itu, pelaksanaan Tradisi Dugderan juga diharapkan dapat menjembatani ikatan persaudaraan antar warga Semarang yang pada waktu itu berhasil dipecah belah oleh Belanda melalui politik devide et impera-nya. Tradisi Dugderan digelar dengan harapan semua lapisan masyarakat dapat berkumpul dan bersatu dalam menjaga keharmonisan hubungan antar sesama manusia.
Upacara perayaan menyambut bulan puasa ini dibuka dengan ditabuhnya beduk Masjid Agung Kauman yang kemudian disusul dengan penembakan oleh meriam yang dilakukan berkali-kali. Bunyi yang dihasilkan dari keduanya, yaitu “dug” yang berasal dari beduk, dan “der” yang disebabkan oleh meriam menjadi cikal bakal penamaan Tradisi Dugderan. Pada masa sekarang, meriam tidak lagi digunakan sebagai penanda dibukanya Tradisi Dugderan, melainkan menggunakan petasan sebagai gantinya. Awalnya tradisi ini berpusat di Masjid Agung Kauman, namun karena pemerintah berusaha meningkatkan keikutsertaan masyarakat, maka pusat tradisi dipindahkan ke halaman Balai Kota Semarang. Meskipun dengan adanya perubahan dan perkembangan dalam pelaksanaan Tradisi Dugderan dari masa ke masa, hal tersebut tidak mengubah esensi makna dari perayaan upacara tradisional tersebut.
Gambar 2. Pembukaan Tradisi Dugderan pada Tahun 2022 oleh Pemerintah Kota Semarang (Sumber: semarangkota.go.id)
Proses Tradisi Dugderan terdiri dari tiga agenda, yakni pasar malam Dugderan, proses ritual pengumuman awal bulan Ramadan, dan arak-arakan Warak Ngendog. Warak sendiri merupakan binatang yang merepresentasikan beberapa etnis di Semarang: Arab, Cina, dan Jawa. Binatang ini berkepala naga (representasi dari mitologi Cina), dengan badan menyerupai burak (hewan suci yang digunakan sebagai kendaraan Nabi Muhammad SAW saat Isra’ Mi’raj), dengan empat kakinya yang menyerupai kambing (binatang yang banyak dimiliki orang Jawa sekaligus digunakan sebagai hewan kurban). Keberadaan Warak Ngendog sendiri memperlihatkan adanya keterkaitan yang harmonis antar-etnis masyarakat Semarang. Warak Ngendok sendiri berasal dari dua kata, yakni warak yang berasal dari bahasa Arab “Wara'” yang berarti suci dan bahasa Jawa “Ngendhog” artinya bertelur. Dua kata itu bisa diartikan sebagai siapa saja yang menjaga kesucian di bulan Ramadan kelak akan mendapatkan pahala di hari lebaran. Binatang ini menjadi simbol penting dalam perayaan Tradisi Dugderan karena menjadi penanda bahwa Tradisi Dugderan telah selesai dilaksanakan, yang mana artinya penetapan awal Ramadan jatuh pada esok hari.
Gambar 3. Warak Ngendog (Sumber: visitjawatengah.jatengprov.go.id)
Perayaan upacara penyambutan awal bulan puasa ini membawa dampak baik bagi seluruh masyarakat Semarang. Selain melambangkan keharmonisan umat beragama sekaligus menjadi jembatan ikatan silaturahmi antar sesama masyarakat, Tradisi Dugderan juga membawa dampak positif dari segi ekonomi dan pariwisata; dengan menyediakan lapak rezeki bagi para pedagang dan menjadi daya tarik bagi para wisatawan.
Daftar Pustaka
Warisan Budaya Takbenda Indonesia. (2020). Dugderan. Warisan Budaya Takbenda Indonesia. https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=1523
Visit Jawa Tengah. (2022). Dugderan : Tradisi Sambut Ramadan Di Kota Semarang. Visit Jawa Tengah. https://visitjawatengah.jatengprov.go.id/id/artikel/dugderan-tradisi-sambut-ramadan-di-kota-semarang
Warisan Budaya Takbenda Indonesia. (2016). Dugderan Semarang. Warisan Budaya Takbenda Indonesia. https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=6688
Widyatmoko, A. T. (2023, March 10). Tradisi Dugderan Semarang Kembali Digelar, Dihadiri Arwana, Catat Tanggalnya. Suara Merdeka. https://www.suaramerdeka.com/semarang-raya/047939411/tradisi-dugderan-semarang-kembali-digelar-dihadiri-arwana-catat-tanggalnya
Disbudpar Pemerintah Kota Semarang. (2019, November 21). Dugderan. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang. http://pariwisata.semarangkota.go.id/dugderan/
Disbudpar Pemerintah Kota Semarang. (2019, November 21). Warak Ngendhog. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang. http://pariwisata.semarangkota.go.id/warak-ngendhog/
Saputri, R. (2017). Tradisi Dugder di Semarang dan Perubahan Pelaksanaannya Pada Tahun 2004-2009 [Undergraduate thesis]. Universitas Diponegoro.
Supramono. (2007). Makna Warak Ngendog dalam Tradisi Ritual Dugderan di Kota Semarang [MA thesis]. Universitas Negeri Semarang.
Comentarios