top of page
#FieldNotes

The Unseen Story of Stonehenge: Unveiling Alternative Archaeological Perspective

Penulis : Riska Febrianti

Penyunting: Amanda Dwi Cipta Putri



Gambar 1. Stonehenge dari Udara (Sumber: Adam Stanford)


Stonehenge merupakan situs politik dan keagamaan penting, yakni berupa monumen prasejarah pada zaman Neolitik Awal, yang terletak di Dataran Salisbury di Wiltshire, Inggris. Menurut Parker Pearson (2013), pembangunan Stonehenge dilakukan dalam lima tahap selama lebih dari seribu tahun, yakni antara Neolitikum Tengah dan Perunggu Tengah. Stonehenge berdiri di wilayah yang memuat berbagai fitur penting lainnya dari masa yang sama. Fitur-fitur tersebut meliputi Neolithic long barrows, pagar berliku di Robin Hood’s Ball, the Greater Stonehenge Cursus dan the Lesser Cursus, Cuckoo Stone, Bulford Stone, Coneybury henge, Bluestone henge di West Amesbury, Stonehenge Avenue, Woodhenge, Durrington Walls henge, dan Durrington Walls Avenue.


Gambar 2. Fitur Struktural Utama Stonehenge (Sumber: Vanessa Constant)


Situs ini seringkali digunakan sebagai tempat ritual akibat kepercayaan masyarakat yang menganggap bahwa situs ini memiliki kekuatan magis. Sejak abad ke-4 SM, monumen ini telah menarik perhatian banyak pengamat, khususnya sejak Hecataeus yang merupakan ahli geografi Yunani dari Abdera, menggambarkan monumen tersebut sebagai “magnificent circular temple” Apollo di pulau Hyperboreans. Sejak saat itu, banyak teori-teori muncul berkenaan dengan asal-usul dan fungsi Stonehenge.


Gambar 3. Wilayah Sekitar Stonehenge, Wiltshire (Sumber: Irene Deluis)


Secara singkat, artikel utama pada tulisan ini yang berjudul “Charmed Circle: Stonehenge, Contemporary Paganism, and Alternative Archaeology” oleh Carole M. Cusack, memuat pernyataan bahwa penggunaan Stonehenge oleh Druidic modern bertentangan dengan arkeologi akademik, namun secara luas masih sesuai dengan arkeologi post-modern. Berkaitan dengan hal ini, penulis dalam artikel tersebut juga memaparkan penjelasan terkait Stonehenge dari perspektif para arkeolog akademik dan arkeolog post-modern.


Stonehenge dalam arkeologi akademik dipandang sebagai bagian dari warisan tidak terputus, yang menghubungkan masa kini dengan masa lalu. Ekskavasi oleh tim Mike Parker Pearson dari Universitas Sheffield menghasilkan penekanan bahwa situs Stonehenge adalah tempat pemakaman melalui kremasi yang dibatasi oleh lingkaran bluestone. Lingkaran tersebut kemudian dibongkar sehingga menyisakan Aubrey Holes. Dalam hal ini, Parker juga mengungkapkan pendapatnya terkait adanya hubungan antara Stonehenge dan Durrington Walls, yang berjarak dua mil darinya.


Di sisi lain, perspektif arkeologi post-modern berhasil menciptakan dialog antara kaum Pagan modern (termasuk Druids) dengan para arkeolog, yang kemudian melibatkan perspektif metodologis non-mainstream. Druid modern menggunakan praktik magis (dalam istilah indonesia disebut perdukunan) serta berusaha menetapkan Druidy sebagai tradisi keagamaan ‘indigenous’ Inggris. Menurut Robert Wallis dan Jenny Blain dalam artikel tersebut, mereka menuliskan bahwa cerita rakyat atau folklore-lah salah satu cara komunikasi antara Pagan dan Arkeolog. Berbeda dengan arkeologi akademis yang secara implisit mengabaikan cerita rakyat.


Berdasarkan artikel lain mengenai Stonehenge dan kaitannya dengan Paganisme, diperoleh fakta bahwa orang-orang Pagan, yang berkaitan erat dengan situs arkeologi (dalam hal ini Stonehenge), telah dilibatkan dalam dialog dengan para arkeolog. Mereka diberikan kesempatan untuk mengemukakan interpretasi yang berkaitan dengan folklore dan kepercayaan mereka mengenai Stonehenge. Dijelaskan pula bahwa kaum Pagan ini menuntut pengakuan dari para arkeolog. Mereka membawa serta kegiatan-kegiatan seperti misalnya persembahan nazar, ritual, klaim kepemilikan, dan lain sebagainya untuk kemudian interpretasi tersebut ditawarkan kepada para arkeolog. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan anggapan para arkeolog akademis bahwa interpretasi vernakular dan teologis suatu situs adalah tidak ilmiah, atau merupakan “pseudoarchaeology”.


Ditegaskan kembali bahwa pada masa ini, yakni post-modern, arkeolog diharuskan membingkai argumen-argumen lain, termasuk argumen dari masyarakat terkait suatu situs, dalam melakukan penafsiran data arkeologis. Ini berarti arkeolog post-modern juga mempertimbangkan perspektif masyarakat dalam merekonstruksi situs atau monumen Stonehenge ini. Berbeda dengan para arkeolog akademis yang menganggap suatu objek arkeologi (artefak, ekofak, fitur, situs, kawasan, atau lainnya) sebagai ‘milik’ mereka sehingga interpretasinya didominasi oleh mereka. Padahal, seperti yang kita tahu, sejarah bukan hanya milik individu atau sekelompok orang melainkan, bersama-sama termasuk masyarakat atau publik.


Kembali merujuk pada paragraf ketiga yang menjelaskan mengenai Stonehenge sebagai tempat pemakaman, hal ini tentu tidak dapat terlepas dari pendapat Geoffrey. Adapun hipotesisnya adalah berupa pendapat terkait asal-usul Stonehenge yang merupakan akibat dari konflik antara Inggris dan Saxon setelah pemerintahan Romawi. Dikisahkan bahwa Stonehenge adalah monumen peringatan atas 460 bangsawan Inggris yang terbunuh oleh Raja Hengist dan Saxon-nya di Gunung Ambrius. Pendiriannya dibantu oleh Merlin dengan menggunakan kekuatan magis untuk menyusun balok-balok batu raksasa tersebut. Geoffrey juga mengidentifikasi bahwa batu-batu Stonehenge didapatkan dari Irlandia. Tidak hanya itu, pada artikel ini juga disebutkan bahwa Stonehenge memiliki kekuatan magis yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit.


Kisah Stonehenge yang diajukan oleh Geoffrey tersebut, pada awalnya, secara tegas dibantah kebenarannya dan dianggap sebagai imajinasi pribadinya oleh para arkeolog dan sejarawan. Namun, beberapa pemikiran Geoffrey tersebut kemudian satu per satu mulai diterima seiring dengan adanya penelitian di situs Stonehenge pada tahun-tahun berikutnya. Misalnya, sumber batu Stonehenge yang menurut Geoffrey berasal dari Irlandia, kemudian secara luas dianggap kompatibel dengan adanya fakta asal-usul bluestone dari perbukitan Preseli di Pembrokeshire.


Pada artikel ilmiah yang berjudul “Archaeology and legend: Investigating Stonehenges”, Parker Pearson mengatakan perihal urgensi untuk memisahkan folklore atau legenda dari bukti arkeologis. Hal ini dikarenakan adanya penyimpangan hubungan jangka panjang antara arkeologi dengan studi folkloric, meskipun kolaborasi keduanya masih dibutuhkan. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan baru, yaitu selain diharuskan mampu menciptakan dialog dengan masyarakat dan menampung interpretasi mereka terhadap suatu objek kajian, arkeologi juga perlu memisahkan terlebih dahulu antara folklore atau kisah rakyat dengan bukti-bukti arkeologis yang ditemukan. Mengingat aspek-aspek legenda mungkin saja dapat membantu kita sebagai arkeolog untuk mengintip ke dunia prasejarah (konteks: Stonehenges) yang telah hilang.


Selanjutnya, beralih pada pembahasan spesifik mengenai arkeologi alternatif yang sedari awal merupakan tema tulisan dari studi kasus Stonehenge. Mengacu pada artikel ilmiah berjudul “Archaeology for Whose Interpretation?: Finding Space for Alternative Archaeology in Indonesia” yang ditulis oleh Irmawati Marwoto pada tahun 2012, terdapat penjelasan tentang makna arkeologi alternatif itu sendiri. Ia menuliskan bahwa arkeologi alternatif adalah sesuatu yang berbeda dari fakta-fakta yang didefinisikan oleh para arkeolog dalam rangka merekonstruksi dan menggambarkan masa lampau. Dalam hal ini, misalnya legenda, cerita rakyat, kepercayaan masyarakat setempat, dan lain sebagainya.


Arkeologi alternatif telah mempersembahkan tantangan tersendiri bagi para arkeolog sejak awal kemunculannya. Mengingat bahkan pada masa sebelum ini, arkeolog enggan mendengarkan pandangan masyarakat awam (yang mungkin berkaitan dengan objek arkeologi) dalam upaya merekonstruksi kehidupan manusia masa lalu. Arkeologi alternatif pada umumnya muncul akibat ketidaktahuan masyarakat akan hasil penelitian arkeologi. Hal ini kemudian berakibat pada lahirnya interpretasi-interpretasi lain terhadap suatu objek arkeologi oleh masyarakat di lingkungan sekitarnya. Permasalahan ini mungkin dapat diatasi dengan menambah kuantitas serta kualitas penyebaran hasil penelitian arkeologi melalui pameran, museum, atau situs arkeologi.


Kembali merujuk pada penjelasan mengenai sejarah adalah milik bersama, secara umum memang diyakini bahwa arkeolog memiliki otoritas terbesar dalam menentukan dan menafsirkan suatu warisan budaya. Namun, bukan berarti pandangan dan interpretasi dari pihak lain tidak perlu dipertimbangkan. Dewasa ini, para arkeolog telah didesak untuk mengubah paradigma lama mereka menjadi lebih berorientasi kepada publik. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab sosial para arkeolog untuk menyebarluaskan pengetahuan hasil penelitian arkeologi mereka. Dalam kaitannya dengan pemaknaan data arkeologi, pihak-pihak lain dari berbagai disiplin ilmu dan komunitas budaya perlu dilibatkan, mengingat arkeolog bukan merupakan satu-satunya sumber pengetahuan atau informasi.



 

Daftar Pustaka


Cusack, C. M. (2012). Charmed Circle: Stonehenge, Contemporary Paganism, and Alternative Archaeology. Numen, 59(2–3), 138–155. https://doi.org/10.1163/156852712x630752


Darvill, T. (2016). Houses of the Holy: Architecture and Meaning in the Structure of Stonehenge, Wiltshire, UK. Time and Mind, 9(2), 89–121. https://doi.org/10.1080/1751696x.2016.1171496


Grinsell, L. V. (1976). Legendary history and folklore of Stonehenge. Taylor & Francis, Ltd. on behalf of Folklore Enterprises, Ltd. https://www.jstor.org/stable/1259494


Marwoto-Johan, I. (2012). Archaeology for Whose Interpretation?: Finding Space for Alternative Archaeology in Indonesia. Public History Review, 19, 111–119. https://doi.org/10.5130/phrj.v19i0.3094


Pearson, M. P. (2021). Archaeology and legend: investigating Stonehenge. Archaeology International, 24(1). https://doi.org/10.14324/111.444.ai.2021.09


Pearson, M. P. (2013). Researching Stonehenge: Theories Past and Present. Archaeology International, 16(1). https://doi.org/10.5334/ai.1601

14 views0 comments

Comments


bottom of page