Penulis: Hamzah Ali
Editor: Arifa Rachmawati
(Sumber gambar: https://www.holopunicanoes.com/history)
Nenek moyangku seorang pelaut…
Gemar mengarung luas Samudra…
Sebagian besar dari kita pasti pernah mendengar atau menyanyikan lagu tersebut. Lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut” adalah salah satu ciptaan Ibu Soed yang mengekspresikan bahwa kita termasuk bangsa yang terbiasa mengarungi samudera dan menguasai pengetahuan tentang kemaritiman. Ternyata, leluhur kita adalah para penjelajah samudera yang ulung juga sebagai bangsa penutur rumpun bahasa Austronesia. Saat ini, orang-orang penutur Bahasa Austronesia dapat dijumpai di negara-negara Asia Tenggara, terutama kepulauan Oseania dan Madagaskar. Sekitar 3.000 tahun lalu, mereka merupakan orang-orang pertama yang mampu membangun kapal dan teknologi pelayaran yang memungkinkan untuk menjelajah ratusan kilometer hingga ke Hawai di Samudera Pasifik dan Pulau Madagascar di Samudera Hindia dari tempat asal mereka, yakni Taiwan, termasuk hingga ke pulau-pulau di Asia Tenggara yakni Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Proses menyebarnya mereka dari Taiwan ke daerah-daerah tersebut kemudian dikenal dengan teori Out of Taiwan. Akan tetapi, bagaimana sebenarnya mereka dapat melakukan pelayaran jarak jauh melintasi laut?
(Sumber gambar: https://www.iro.umontreal.ca/~vaucher/History/Ships/Polynesia/Polynesian_history.html)
Berkat teknologi pelayaran yang mereka miliki, sekitar 3.000-2.000 tahun sebelum masehi, mereka sudah menguasai teknologi pelayaran meliputi pembuatan kano, layar alas, tali, dan jangkar. Cara mereka dalam menemukan jalan di samudera luas bukan dengan menggunakan alat seperti kompas, tetapi hanya dengan menggunakan elemen alami seperti arah angin, bintang di langit, serta indera dan ingatan. Pengetahuan bernavigasi ini dipelajari dari orang tua, sesepuh dan leluhur, serta pengamatan juga praktik mereka sendiri. Keterampilan navigasi tradisional ini masih ada dan masih digunakan oleh masyarakat di beberapa daerah di Samudera Pasifik. Ketika melakukan perjalanan samudera, mereka menggunakan kapal atau kano, bisa berlambung tunggal atau ganda, dengan layar berbentuk segitiga. Pada seluruh daerah yang ditempati oleh penutur rumpun bahasa Austronesia hanya terdapat empat jenis kapal yang dibedakan berdasarkan lambung, yakni kano tunggal, kano ganda, kano cadik tunggal, dan kano cadik ganda.
Kano Austronesia awal tidak memiliki cadik, melainkan hanya berupa kano nelayan dan kano perang dengan lambung tunggal. Kano semacam ini masih bertahan secara etnografis di Botel Tobago dan Solomon serta wilayah Pasifik lain. Kano cadik awal juga masih menggunakan dayung untuk bergerak melalui air. Kano awal dengan lambung tunggal ini mempunyai kapasitas bawaan yang terbatas sehingga membatasi jangka waktu mereka dalam berlayar. Mereka mampu melakukan pelayaran laut yang lebih lama lagi, dengan muatan yang lebih besar, setelah menciptakan kano ganda. Kano ganda terdiri dari dua lambung, sehingga dapat membawa muatan banyak dan lebih beragam yang penting dalam pelayaran untuk menemukan daerah baru. Muatan tersebut meliputi hewan-hewan seperti anjing, ayam, bambu, pisang, tebu, talas, ubi rambat, tanaman obat dan racun, banyak buah-buahan dan biji-bijian.
(Sumber gambar gambar: The Canoe Is The People, 2013)
Dari kano ganda, lahirnya kano cadik tunggal. Cadik pada kano cadik tunggal awalnya merupakan lambung kapal kedua yang perlahan ukurannya mengecil. Cadik ini bermanfaat untuk membantu menyeimbangkan kano agar lebih stabil ketika di air. Kapal cadik tunggal lebih umum ditemukan di daerah kepulauan Pasifik seperti Melanesia, Polinesia dan Mikronesia. Sementara itu, di kepulauan Asia Tenggara dan Madagaskar lebih umum ditemukan kapal cadik ganda. Hal ini dikarenakan teknologi kapal cadik ganda lebih berkaitan dengan gelombang migrasi Austronesia kedua yang memiliki teknologi lebih maju dibanding mereka di daerah Timur. Teknologi kapal cadik ganda ini diketahui masih digunakan di daerah Nusantara hingga masa Hindu-Buddha, dengan bukti relief kapal besar dengan cadik dapat ditemukan pada relief Candi Borobudur yang berasal dari Abad ke-8.
Relief kapal cadik di Candi Borobudur. (Gambar: Michael J. Lowe)
Daftar Rujukan
Horridge, A. (2006). Chapter 7. The Austronesian Conquest of the Sea — Upwind. In Bellwood, P.; J. Fox, J.; Tryon, D. ANU Press.
Anne Di Piazza, A. D.; Pearthree, E. (eds.). (2008). Canoes of the Grand Ocean. BAR International Series 1802. Archaeopress.
O’Connell, G. (2013). The Canoe Is The People. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.
Salam, A. (2014). Boats in Indonesia. Encyclopaedia of the History of Science, Technology, and Medicine in Non-Western Cultures.
Comments