Penulis : Ziana Naz Zahra Hidayat
Penyunting: Amanda Dwi Cipta Putri
Gambar 1. Kawasan Banten Lama
(Sumber: Tangerang Ekspres)
Kalau kamu gemar mengunjungi situs-situs arkeologi atau tempat-tempat yang berhubungan dengan arkeologi dan peninggalannya, sekaligus bercita-cita melarikan diri dari padatnya Jakarta, Banten Lama adalah kawasan destinasi yang tepat untuk kamu kunjungi. Di Banten Lama, banyak sekali peninggalan dari masa kejayaan Kesultanan Banten yang bisa kamu kunjungi. Tak hanya itu, di sana, kamu juga bisa menyaksikan betapa kentalnya toleransi beragama yang telah berjalan sejak berabad-abad tahun lamanya, loh! Bukti-bukti dari pendudukan Belanda juga ikut meramaikan keberagaman peninggalan arkeologi di Banten Lama.
Untuk mencapai kawasan Banten Lama, kamu bisa menggunakan KRL dan melanjutkan perjalanan menggunakan Kereta Api (KA) Lokal, loh! Perjalanannya mungkin memakan waktu yang tidak sebentar, tetapi kamu hanya perlu mengeluarkan kurang dari 15.000 rupiah untuk sampai di Banten Lama. Sebelum menggunakan layanan KRL untuk pergi ke Banten Lama, pastikan kamu siap untuk berhadapan dengan serba-serbi transit di Stasiun Manggarai dan Tanah Abang, ya! Dua stasiun itu harus kamu lalui untuk mencapai Stasiun Rangkasbitung, stasiun tujuan akhir sekaligus stasiun di mana kamu akan transit ke KA Lokal menuju stasiun tujuan akhir, yaitu Stasiun Karangantu.
Eksplorasi ke Banten Lama sebenarnya bukan rencana utama kami mengunjungi Banten. Oleh karenanya kami tidak turun di Stasiun Karangantu, melainkan Stasiun Serang (satu stasiun sebelum Stasiun Karangantu) untuk menyelesaikan beberapa urusan terlebih dahulu. Setelah urusan tersebut selesai, barulah kami mengunjungi Banten Lama menggunakan layanan transportasi online. Destinasi pertama yang kami kunjungi adalah Vihara Avalokitesvara yang letaknya berada di Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Banten.
Gambar 2. Vihara Avalokitesvara
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023)
Vihara Avalokitesvara adalah vihara yang dibangun pada abad ke-17 pada masa Kesultanan Banten. Sebenarnya, untuk tahun pasti berdiri dan awal mula vihara ini dibangun, banyak beberapa pendapat berdasarkan sumber-sumber yang ada, namun kebanyakan menyebutkan bahwa vihara ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1652. Awalnya vihara ini dibangun tidak jauh dari Masjid Agung Banten dan Keraton Surosowan, yaitu di Kampung Dermayon, namun pada sekitar tahun 1774 sampai sekarang, vihara ini dipindahkan ke Kampung Pamarican. Vihara Avalokitesvara ini letaknya di pinggir jalan, tetapi tidak tepat di pinggir jalan. Ada gapura sebelum mencapainya. Begitu memasuki kawasan vihara, warna merah yang menghiasi hampir seluruh bangunan dan ornamennya adalah hal pertama yang kami lihat. Sebelum memasuki vihara, kami meminta izin kepada petugas yang berjaga terlebih dahulu. Petugasnya menyambut dengan baik dan mempersilakan kami untuk memasuki kawasan belakang vihara.
Gambar 3. Mural-Mural Sepanjang Lorong Menuju Kawasan Belakang Vihara Avalokitesvara
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023)
Untuk mencapai kawasan belakang vihara, kami melewati sebuah lorong yang didominasi warna merah dan tembok mural yang menjelaskan suatu alur, tetapi karena penjelasan tersebut menggunakan aksara tradisional Han, kami tidak bisa mengetahui konteks dari mural-mural tersebut. Mural-mural tersebut memanjang sepanjang lorong dan berlanjut sampai setelah lorong-lorong itu berakhir. Di kawasan belakang vihara, disediakan beberapa kursi kayu yang letaknya persis di sebelah pohon besar. Udara di kawasan belakang vihara sangat sejuk, maka dari itu kami menyempatkan diri untuk duduk dan menikmati angin sepoi-sepoi sebelum beralih mengunjungi Benteng Speelwijk yang berada tepat di seberang Vihara Avalokitesvara.
Gambar 4. Benteng Speelwijk
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023)
Benteng Speelwijk adalah benteng peninggalan Belanda yang dibangun pada tahun 1682 yang kemudian diperluas pada tahun 1685 dan 1731. Sebenarnya, kami mengetahui letak benteng ini berdekatan dengan Vihara Avalokitesvara, tetapi kami tidak menyangka bahwa letaknya persis di seberang Vihara Avalokitesvara. Hanya sebuah parit yang tidak terlalu besar yang memisahkan keduanya.
Letak benteng dengan pintu masuk bisa dikatakan tidak dekat tetapi tidak begitu jauh juga, namun karena waktu itu kami membawa sejumlah beban berat di punggung, jalan kaki dari pintu masuk menuju Benteng Speelwijk rasanya cukup menguras tenaga. Ada parit yang mengelilingi benteng dan eksistensinya dapat mudah ditemui saat menuju pintu utama Benteng Speelwijk. Di Benteng Speelwijk, tidak banyak yang dapat dilihat. Kami disambut oleh hamparan rumput hijau yang sangat luas dan beberapa sisa struktur bangunan di atasnya. Di lantai dua benteng, struktur tempat menaruh meriam dan menara pengintai masih dapat ditemui.
Kami tidak menghabiskan waktu banyak di benteng, karena beberapa dari kami merasa cukup lelah dan tidak sanggup untuk melanjutkan perjalanan. Maka dari itu, kami memutuskan untuk berangkat ke Stasiun Karangantu lebih awal untuk beristirahat sembari menunggu waktu keberangkatan tiba. Oh, iya, omong-omong soal waktu keberangkatan, jangan lupa untuk pastikan waktu keberangkatan KA Lokal yang dituju, ya! Berbeda dengan KRL, KA Lokal memiliki jadwal keberangkatan yang tetap dengan jarak waktu yang cukup lama. Jadi, jangan sampai ketinggalan kereta, ya.
Kembali pada cerita awal, setelah kami sampai di Stasiun Karangantu, saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sendiri menuju Masjid Agung Banten dan Keraton Surosowan. Saya menggunakan layanan ojek online untuk mencapai kedua lokasi tersebut. Sebenarnya banyak angkutan umum yang berlalu lalang, tetapi karena saya tidak familier dengan rutenya, serta di Google Maps tidak ada informasi mengenai itu, jadi saya putuskan untuk menggunakan layanan ojek online. Dalam kurun waktu kurang dari sepuluh menit, saya tiba di Masjid Agung Banten.
Gambar 5. Area Masjid Agung Banten
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023)
Dibangun pada tahun 1556 di masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin, masjid ini memiliki menara yang didirikan sebagai tempat mengumandangkan azan pada tahun 1632 oleh seorang arsitek Tionghoa bernama Tjek Ban Tjut. Akulturasi budaya banyak tercermin pada elemen dan arsitektur Masjid Agung Banten.
Gambar 6. Menara Masjid Agung Banten dan Payung Khas Masjid Nabawi
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023)
Masjid Agung Banten masih aktif digunakan sebagai tempat beribadah umat muslim. Pada saat saya berkunjung di waktu asar, antrean untuk memasuki masjid cukup panjang. Setelah masuk pun, antrean untuk berwudu juga terlihat tidak kalah panjang. Begitu memasuki area masjid, budaya Jawa tradisional yang sangat kental saya rasakan. Siapapun bisa menebak bahwa bangunan masjid ini tidak berdiri dalam waktu puluhan tahun saja. Menara masjid yang menjulang tinggi juga menjadi daya tarik tersendiri. Jangan lupakan payung-payung besar khas Masjid Nabawi yang baru dipasang belakangan ini.
Gambar 7. Keraton Surosowan
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023)
Setelah mengunjungi masjid, saya berjalan kaki menuju Keraton Surosowan yang letaknya sangat dekat dengan Masjid Agung Banten. Keraton ini pertama kali didirikan pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1552-1570). Keraton ini mengalami beberapa kali penghancuran dan sempat dibangun kembali pada masa pemerintahan Sultan Haji, namun saat Belanda berkuasa, keraton ini kembali dihancurkan pada tahun 1808 hingga 1832. Maka dari itu, tidak banyak yang bisa dilihat sekarang, yang tersisa hanyalah puing-puingnya saja.
Gambar 8. Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023)
Di dekat Keraton Surosowan juga terdapat Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama yang di sampingnya terdapat Laboratorium Arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Saya pikir museum tersebut buka di hari Sabtu, karena informasi yang saya dapat dari Google berkata demikian, namun ketika saya bertanya pada orang yang berada di sekitar museum, ia mengatakan, “Hari Sabtu ya tutup.”
Dengan perasaan cukup kecewa, saya hanya dapat memandangi museum itu dari luar. Tadinya saya berniat mengunjungi Keraton Kaibon juga, tetapi karena letaknya yang tidak satu kompleks dengan Masjid Agung Banten dan Keraton Surosowan, saya memutuskan untuk kembali ke Stasiun Karangantu karena sebentar lagi jadwal keberangkatan terdekat segera tiba.
Meskipun begitu, saya puas menghabiskan waktu di Banten Lama. Apalagi untuk kamu yang gemar berjalan kaki, saya rasa kamu akan menyukai jalanan di sekitar kompleks situs Banten Lama yang ramah untuk para pejalan kaki. Tenang saja, sepertinya motor tidak akan menerobos dan mengambil jalurmu lagi di sini! Yuk, kunjungi Banten Lama
Daftar Pustaka
BPCB Banten. (2016, July 22). Benteng Speelwijk, Banten Lama. Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten. Retrieved May 14, 2023, from https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbanten/benteng-speelwijk-banten-lama/
BPCB Banten. (2022, December 9). Masjid Agung Banten. Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten. Retrieved May 14, 2023, from https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbanten/masjid-agung-banten/
Isnaeni, H. F. (2020, April 6). Sultan Banten, Wihara, dan Wabah Penyakit. Historia. Retrieved May 14, 2023, from https://historia.id/agama/articles/sultan-banten-wihara-dan-wabah-penyakit-6anAJ/page/1
Comments