Penulis: Greace Xaveria Penyunting: Irfan Maulana
Kata nasional yang menempel pada title museum nasional bukan hanya sekedar pajangan dan ajang pamer status. Sebaliknya, terdapat tugas dan tanggung jawab yang harus diemban oleh museum baik sebagai ruang publik dan sebagai institusi pemerintah. Lalu sebenarnya, tanggung jawab seperti apa yang harus diemban oleh sebuah museum di tingkat nasional dan apa yang membedakan dia dengan museum-museum di tingkat lain? Pertanyaan ini pada awalnya belum pernah muncul, apalagi ada keinginan untuk menjawabnya (kecuali jawaban teoritis mungkin?). Kemudian, baru sepekan yang lalu, lewat tugas-tugas kuliah, saya membaca literatur-literatur dan menemukan jawaban dari pertanyaan di atas yang membuat saya bergumam, “oh, ini toh tugasnya museum nasional”. Ya, salah satu tanggung jawab yang harus diemban oleh museum yang mempunyai title nasional adalah membangun nasionalisme warga negaranya. Sebelumnya, walaupun sering mengunjungi museum nasional apalagi di waktu semester- semester muda, tidak pernah terlintas dengan mudah jawaban atas pertanyaan di atas.
Berbicara soal nasionalisme, sejujurnya saya tidak cukup paham dan tertarik dengan isu-isu politik seperti ini. Sejauh yang saya baca, mengapa nasionalisme itu penting karena sifatnya sebagai identitas dan alat politik pemersatu bangsa. Identitas yang sama membawa masyarakat pada tujuan yang sama dan hal itu berdampak pada keadaan sosio-politik yang lebih stabil dan memudahkan warga negaranya untuk bergerak maju. Oleh karena itu, banyak negara memberi perhatian lebih untuk membentuk nasionalisme warga negaranya menjadi lebih kuat. Terdengar utopis, tetapi sepertinya para pemimpin negara masih merasa hal ini efektif sampai-sampai mereka menginvestasikan banyak uang mereka untuk sebuah museum. Tujuannya? supaya museum tersebut bisa merefleksikan nasionalisme itu pastinya, dan dapat menjadi trailer (bahkan film) untuk warga negaranya mengenai bagaimana keadaan negara mereka saat ini. Lebih keren lagi, ternyata museum juga bisa menjadi agent of trust sekaligus objek kebanggaan bagi warganya.
Jujur ini sulit, tidak semua museum bisa menjalankan tugas ini, apalagi museum-museum yang masih berorientasi pada koleksi. Masih punya dana untuk preservasi dan konservasi saja sudah syukur. Lalu sebenarnya apakah museum bisa menjalankan tugas tersebut? Jawabannya adalah tentu saja bisa. Untuk membuktikan jawaban tersebut, sepertinya saya harus memperlihatkan salah satu museum yang menurut saya, setidaknya sudah bisa membangun nasionalisme dengan berbagai usaha yang dilakukan. Ya, Museum Nasional Te Papa Tongarewa atau singkatnya Museum Te Papa saja. Saya menemukan museum ini ketika kelas Museum dan Publik yang kala itu sedang membahas mengenai Indigenous People. Saya kira museum yang baru dibangun di akhir tahun 90-an ini adalah museum daerah atau museum dengan tema yang spesifik, terlebih lagi ketika kita mengunjungi website resminya di https://www.tepapa.govt.nz, tampilan yang kalian dapat adalah kata-kata asing yang terdengar kuno bersamaan dengan bahasa Inggris. Tapi ternyata, museum ini merupakan museum tingkat nasional milik Selandia Baru yang terletak di Wellington.
Hal yang saya cari pertama adalah sebenarnya identitas nasional apa yang Selandia Baru ini bawa dan bagaimana museum mengaplikasikannya secara nyata. Saat mencari tahu, terdapat hal yang perlu digaris bawahi, yaitu bagaimana sejarah sangat memainkan peran penting dalam membentuk negara Selandia Baru sampai sekarang. Secara historis, Selandia Baru adalah kepulauan di lautan pasifik yang sebenarnya sudah ditinggali oleh manusia ras pelaut, ras Austronesia, yaitu suku Maori. Mereka tumbuh dan mengembangkan budaya mereka sampai akhirnya di tahun 1600-an, para pelaut dari Eropa, terutama inggris datang dan memutuskan bermukim juga disana. Seiring berjalannya waktu, populasi orang Eropa semakin banyak dan menjadi kelompok mayoritas. Tentu saja hal ini membawa efek buruk bagi kaum Maori sehingga memicu munculnya gerakan-gerakan resistensi untuk menuntut keadilan. Tahun 1840, Inggris yang kala itu mendominasi, akhirnya membuat kesepakatan yang dikenal sebagai Treaty of Waitangi dengan suku Maori yang isinya mengatur bagaimana hubungan diantara mereka. Tapi, sampai tahun 1970-an, perjanjian hanya sebuah kertas. Negara Selandia Baru tetap berdiri dengan mendeklarasikan diri sebagai negara multikultural dengan kulit putih sang penguasanya. Tidak puas, suku Maori menuntut adanya keadilan dan akhirnya membuahkan hasil, yaitu pada tahun 1970, pemerintah mulai menaikan status suku Maori sebagai konstitusi kuno dan menjadikan Treaty of Waitangi ini menjadi sebuah landasan negara. Karena perjanjian ini juga, Selandia Baru mendeklarasikan diri mereka sebagai negara bikultural, yaitu dimana dalam satu negara, terdapat dua budaya, yaitu budaya asli, Suku Maori dan budaya pendatang, yaitu orang-orang eropa dan pendatang asing lainnya.
Sejarah singkat ini membuat saya berpikir, kondisi Selandia Baru dapat dikatakan rentan, begitu salah ambil keputusan, bisa saja konflik sosial terjadi diantara suku Maori dan pendatang yang juga dari berbagai ras dan etnis. Terlebih, bagaimana cara menceritakan sejarah kelam ini kedalam museum? Apalagi menuntut penyatuan. Tapi, hal ini bukanlah sebuah kesulitan bagi museum Te Papa, melainkan sebuah tantangan. Saya berpendapat setidaknya terdapat tiga usaha yang dilakukan oleh museum Te Papa dalam membangun nasionalisme di dalam museum.
Hal pertama yang saya lihat adalah branding. Menarik sekali membedah branding dalam sebuah museum yang notabenenya adalah institusi pemerintah. Dalam museum Te Papa, mereka tidak setengah-setengah mendeklarasikan diri mereka sebagai “Our Place”. Bila memperhatikan logo museum, kalian bisa melihat sebuah gambar sidik jari yang dibuat dengan gaya minimalis, Sebuah trend seni modern dari aliran barat. Tapi bila dilihat lebih mendalam, sebenarnya garis-garis pembentuk sidik jari ini adalah motif daun pakis yang dikenal dalam kebudayaan Maori. Dalam treatment brandingnya pun, seluruh aspek mulai dari label-label kecil di museum, seluruhnya ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa suku Maori dan Inggris. Dari hal ini dapat ditarik sebuah usaha penting, yaitu penggabungan dua budaya menjadi satu yang digambarkan dalam bentuk sidik jari, dimana secara mental template semua orang tahu bahwa sidik jari adalah aspek penting untuk dapat membedakan satu identitas dengan identitas lainnya.
Gambar 1. Logo Museum Te Papa (Sumber: Te Papa Official Website)
Usaha kedua yang dilakukan tidak hanya berhenti pada logo, ternyata aspek nasionalisme yang ditanamkan mengakar sampai kepada bagaimana arsitektur bangunan museum dibuat. Dari literatur yang saya baca, ternyata dalam konsep arsitekturnya, museum Te Papa dibangun dengan penempatan dan orientasi yang memadukan unsur seni dari suku Maori dan pendatang (orang- orang eropa yang disebut juga Pakeha dalam bahasa Maori). Secara garis besar, bangunan ini dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian utara dan selatan dengan pintu masuknya masing-masing. Bagian utara disimbolkan sebagai pintu masuk suku Maori karena dalam budaya Maori, pintu masuk harus mengarah ke utara dan bagian selatan disimbolkan sebagai pintu masuk Pakeha (pendatang). Di antara pintu-pintu ini, terdapat sebuah intersection berbentuk segitiga yang disebut sebagai central core/ihonui. Ruangan ini berisi pameran tetap, yaitu sign of nation yang memamerkan Treaty of Waitangi yang menjadi landasan dan pedoman Selandia Baru. Dari konsep ini, museum berusaha bercerita, walaupun terdapat dua budaya dengan arah yang berbeda, tetapi terdapat sebuah ruang mediasi di tengah yang berupaya menyatukan dua budaya ini. Sebuah filosofi yang berusaha mengajak dan menanamkan nilai persatuan diantara dua budaya kepada pengunjungnya.
Gambar 2. Denah Museum Te Papa Tongarewa (Sumber: Attwood, 2013)
Usaha terakhir yang menurut saya paling penting dan paling perlu diacungi jempol adalah dibangunnya ruangan khusus yang tujuannya untuk menamkan nilai-nilai bicultural kepada pengunjungnnya. Ruangan ini mengambil tempat pada intersection yang letaknya di lantai 4 dengan nama pameran tetap, yaitu Sign of Nation. Isi dari ruang ini sudah jelas adalah memamerkan Treaty of Waitangi yang menjadi landasan dan pedoman Selandia Baru. Bukan hanya memamerkan, museum juga berusaha berkomunikasi dengan pengunjung dengan banyak menyedian media interaktif yang membuat pengunjung dapat berdebat, beropini, berdiskusi dan bahkan memberikan rekomendasi kepada pemerintah. Selain itu juga, narasi sejarah yang dihadirkan mengenai pendirian negara ini ditampilkan dengan gamlang tanpa ditutup-tutupi.
Gambar 3 . Section Sign of Nation (Sumber: (Attwood, 2013)
Dari pameran ini terlihat, bahwa usaha museum untuk menyampaikan nilai-nilai nasionalisme berupa bikulturalisme bukanlah usaha yang setengah-setengah. Selandia Baru sadar, bahwa untuk memajukan negara diperlukan penyatuan warga negara untuk bergerak bersama terlebih Selandia Baru memiliki sejarah yang dikatakan sulit untuk dihadirkan pada masa sekarang di hadapan banyak orang. Museum Te Papa bukan hanya bertindak sebagai gudang penyimpanan, tetapi sudah bergerak maju untuk membangun nasionalisme pengunjungnya, menjadi agent of trust bagi masyarakat, dan menjadi wadah komunikasi antara pengunjung dan museum. Apakah semua museum nasional sanggup untuk melakukan tanggung jawab besar ini? Seharusnya ia, karena status nasional yang melekat pada museum nasional bukanlah status palsu.
Daftar Pustaka
Ahmad, S., Abbas, M. Y., Yusof, W. Z., & Taib, M. Z. (2018). Creating Museum Exhibition: What the Public Wants? Asian Journal of Behavioral Studies, Vo.3, Bo.11, 27-36.
Attwood, B. (2013). Difficult Histories: The Museum of New Zealand Te Papa Tongarewa and the Treaty of Waitangi Exhibit. The Public Historian Vol.35, No.3, 46-71.
Henare, A. (2004). Rewriting The Script: Te Papa Tongarewa the Museum of New Zealand. Social Analysis: The International Journal of Anthropology, Vol.48, No.1, 55-63.
Libraries, C. C. (2020, April 12). Biculturalism in New Zealand. Diambil kembali dari Christchurch City Libraries: https://my.christchurchcitylibraries.com/kids-treaty-zone-biculturalismism/
Vrbancic, S. B. (2003). One Nation, Two People, Many Culture: Exhibiting Identity At Te Papa Tongarewa. The Journal of the Polynesian Society, Vol.122, No.3 , 295-313.
Weiser, M. E. (2017). Museum Rhetoric. Dalam M. E. Weiser, Museum Rhetoric: Building Civic Identity in National Spaces (hal. 25). United States: Penn State University Press.
Wiser, M. M. (2017). Identifying with the Nation. Dalam M. M. Wiser, Museum Rhetoric: Building Civic Identity in National Spaces (hal. 118-149). United States: Penn State University Press.
Comments