top of page
#ArkeOpini

Ironi Candi Badut Kini

Updated: Jan 19, 2022

Penulis: Adinda Tasya Namira

Editor: Hamzah Ali

Gambar 1. Tampak Depan Candi Badut, Malang

(Foto: Ramelan, 2013, hlm. 278)


Malang, kota yang terletak di Jawa Timur ini memiliki berbagai julukan mulai dari kota pendidikan, kota apel, bumi AREMA, hingga kota wisata. Akan tetapi, banyak orang belum mengetahui bahwa Malang juga menyimpan peninggalan arkeologi dalam bentuk bangunan candi. Salah satunya adalah Candi Badut yang terletak di Desa Karang Besuki, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Candi Badut merupakan peninggalan dari Kerajaan Kanjuruhan yang dibangun pada masa pemerintahan Gajayana dan bernafaskan agama Hindu-Siwa. Berdasarkan catatan sejarah, Candi Badut ditemukan pertama kali tahun 1921 oleh Maureen Brecher, kontrolir Kantor Pamong Praja di Malang. Kemudian, pada tahun 1923–1926, Candi Badut mengalami pemugaran yang dilakukan oleh Dinas Purbakala di bawah pimpinan Dr. F.D.K Bosch dan B. de Haan, namun hanya dapat merekonstruksi bagian kaki/lapik dari tubuh candi. Candi Badut oleh arkeolog Poerbatjaraka dikaitkan dengan Prasasti Dinoyo (682 Saka atau 760 Masehi) yang berisi tentang masa pemerintahan Raja Dewasimha dan Putranya, Sang Liswa. Kelak setelah menjadi raja, Liswa berganti nama menjadi Gajayana. Menurut B. De Haan, Candi Badut merupakan bangunan candi tertua di wilayah Jawa Timur karena arsitektur maupun seni arcanya memperlihatkan gaya Jawa Tengah. Pendapat tersebut kemudian didukung oleh Dr. R. Soekmono dalam disertasinya yang berjudul “Candi Fungsi dan Pengertiannya” (Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya).

Candi Badut memiliki denah bujur sangkar dengan ukuran 11x11 meter dan tidak diketahui tingginya, orientasi menghadap ke arah barat, terdapat tiga buah sisa-sisa candi perwara di hadapannya, dan dulunya dikelilingi oleh pagar tembok. Keistimewaan Candi Badut dibandingkan candi-candi lainnya di Jawa Timur adalah terdapat pada lapik setinggi dua meter tanpa hiasan, termasuk tidak ada perbingkaian, sehingga sering sekali diperkirakan kaki candi. Di sebelah barat terdapat tangga masuk berbentuk ikal lemah. Keistimewaan lainnya adalah ragam hias pola kertas tempel yang menghias dinding candi, mirip dengan ragam hias kertas tempel yang berada di Candi Sewu dan Candi Mendut. Perbingkaian tubuh candi menunjukkan bingkai Klasik Tua, yakni bingkai rata, bingkai padma, dan bingkai setengah lingkaran. Tiga buah relung menghias tubuh candi, dua relung masih terisi arca, yakni arca Agastya di relung sebelah selatan dan arca Durgā Mahiśāsuramardinī di relung sebelah utara. Pintu masuk menuju dalam ruangan candi (garbhagṛha) dihias kepala-makara dengan bentuk makara yang meruncing dan kepala kala tanpa rahang bawah.

Namun, sayangnya semua keistimewaan Candi Badut tersebut harus tercoreng akibat aksi vandalisme yang dilakukan oleh pihak tidak bertanggung jawab. Hal tersebut terbukti dengan ditemukannya banyak goresan/pahatan benda tajam mulai dari bagian kaki candi, badan candi, ruang dalam candi (garbhagṛha), hingga lingga yoni. Kebanyakan, goresan tersebut berupa tulisan inisial nama seseorang. Pada bagian kaki candi, goresan cenderung tidak terlalu dalam dipahatkan dan terkadang samar-samar untuk bisa dibaca tulisannya. Contoh goresan tulisan yang bisa dibaca, seperti “MPK”, “CMA”, “NUSANTARAr”, “HARIANIR...”. Sementara itu, goresan pada bagian badan candi dipahatkan lebih dalam sehingga tulisan dapat dengan mudah untuk dibaca. Pada badan candi sisi luar, terdapat goresan tulisan, seperti “RANO”, “ROIS”, dan “VIKING ARETA” yang dapat terbaca dengan jelas. Selanjutnya, pada badan candi sisi dalam juga ditemukan goresan mulai dari tulisan yang terlihat samar-samar hingga terlihat sangat jelas. Contoh goresan yang dapat dibaca, seperti “SDI”, “GDI”, “RIOU…”, “ISMAIL”, dan “DODO”. Terakhir adalah lingga yoni yang terdapat di dalam ruangan candi (garbhagṛha) kondisinya memprihatinkan karena bagian permukaan lingga dipenuhi oleh coretan dengan tulisan “PRAMUKA AMSU TJELAKET”.



Gambar 2. Goresan pada Bagian Kaki Candi Badut

(Foto: Adinda Tasya Namira, 2021)




Gambar 3. Goresan pada Bagian Badan Candi Badut Sisi Luar

(Foto: Adinda Tasya Namira, 2021)




Gambar 4. Goresan pada Bagian Badan Candi Badut Sisi Dalam

(Foto: Adinda Tasya Namira, 2021)


Gambar 5. Goresan pada Lingga Candi Badut

(Foto: Adinda Tasya Namira, 2021)


Selain goresan/pahatan, dalam buku Candi Badut dan Pemugarannya (1995–1996) juga telah ditemukan aksi vandalisme lainnya yang terjadi di Candi Badut, yakni coretan cat. Warna cat yang dipergunakan bermacam-macam, bahkan pada satu tempat noda cat terdiri dari beberapa lapisan. Noda yang berlapis-lapis tersebut kebanyakan ditutup dengan lapisan semen yang diduga sebagai kamuflase agar tidak mencolok. Sebenarnya, penggunaan semen menimbulkan problema mengingat sulit untuk dihilangkan dan menimbulkan dampak negatif terhadap batu candi yang akan tercemar. Jumlah batu yang ternoda oleh cat sebanyak 287 balok, sebagian besar terdapat dibagian tubuh candi sebanyak 177 balok. Namun, bekas coretan cat telah tertutup lapisan semen pada batuan penyusun Candi Badut sehingga hanya goresan/pahatan saja yang telihat jelas.

Kegiatan vandalisme sebenarnya tidak hanya mengancam Candi Badut saja, namun seluruh Cagar Budaya yang ada di Indonesia. Faktor utama yang menyebabkan aksi vandalisme masif dilakukan karena belum timbulnya rasa kepemilikan Cagar Budaya khususnya bagi masyarakat sekitar lokasi Cagar Budaya maupun masyarakat Indonesia secara umum. Selain itu, terdapat faktor pendukung lainnya, seperti belum pahamnya masyarakat tentang pentingnya nilai Cagar Budaya, tidak tersosialisasikan dengan baik UU Cagar Budaya kepada masyarakat, faktor ekonomi yang mendorong masyarakat untuk merusak Cagar Budaya guna diperjual belikan, pengawasan yang kurang terhadap Cagar Budaya oleh pemerintah maupun masyarakat peduli Cagar Budaya, serta adanya peluang dan kesempatan untuk melakukan aksi vandalisme tersebut.

Indonesia sendiri telah memiliki peraturan yang mengatur mengenai Cagar Budaya, yakni Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang merupakan pembaharuan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Namun, karena tidak tersosialisasikan dengan baik membuat masyarakat seringkali abai dan acuh tak acuh dengan Cagar Budaya di sekitar mereka. Terbukti dengan ditemukannya aksi vandalisme pada Candi Badut berupa goresan tulisan maupun cat. Padahal, dalam Pasal 105 UU tersebut sudah diatur sanksi bagi pelanggar, yakni “Setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah). Seharusnya, jika masyarakat mengetahui sanksi yang mengintainya maka segala bentuk kegiatan vandalisme yang mengancam maupun merusak Cagar Budaya dapat diminimalisir sehingga kelak aksi tersebut tidak terjadi kembali.

Kemudian, muncul pertanyaan “Siapakah yang harus mensosialisasikan UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya kepada masyarakat?” Sesuai dengan Bab VIII Tugas dan Wewenang Pasal 95 ayat 1 dan 2, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lah yang mempunya tugas untuk melakukan Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya termasuk di dalamnya menginformasikan UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya tersebut kepada masyarakat. Lalu, masyarakat dapat berperan apa terhadap Cagar Budaya? Dalam UU tersebut, juga telah diatur dua pasal terkait dengan peran serta masyarakat untuk mendukung tetap lestarinya Cagar Budaya, yakni

  1. Pasal 63 “Masyarakat dapat berperan serta melakukan Pengamanan Cagar Budaya”.

  2. Pasal 99 ayat 2 “Masyarakat ikut berperan serta dalam pengawasan Pelestarian Cagar Budaya”

Pada akhirnya, kita sebagai masyarakat Indonesia sepatutnya bersyukur dan bangga karena memiliki banyak peninggalan Cagar Budaya yang tidak ternilai harganya. Sekarang, tugas kita sebagai generasi penerus bangsa adalah melestarikan warisan budaya tersebut agar tidak punah termakan oleh zaman sehingga kelak anak cucu kita masih dapat mengunjunginya di kemudian hari. Slogan “Kunjungi, Lindungi, dan Lestarikan” harus terus digaungkan demi lestarinya Cagar Budaya yang tersebar di seluruh wilayah NKRI tercinta.


Daftar Pustaka

Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya. (tanpa tahun). Candi Badut. Dalam http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/cagarbudaya/detail/PO2016021000299/candi-badut yang diakses pada 26 Juli 2021.

Ramelan, W.D.S dkk. (2013). Candi Indonesia Seri Jawa. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Soviyani, A dkk. (1995–1996). Candi Badut dan Pemugarannya. Bagian Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Jawa Timur.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.


39 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page