Ketupat: Tradisi Masyarakat Jawa dalam Merayakan Hari Raya Idul Fitri
- #FieldNotes
- Apr 24
- 4 min read
Penulis : Moh Ghani Nur Rifki
Editor : Aji Shahariza
Idul Fitri, hari kemenangan yang dinanti umat Muslim di seluruh dunia, selalu dipenuhi dengan tradisi yang sarat makna. Di Indonesia, salah satu tradisi yang tak pernah lepas dari perayaan ini adalah ketupat. Tradisi ketupat merupakan salah satu bentuk warisan budaya leluhur yang masih dilaksanakan dan dilestarikan hingga saat ini, terutama oleh masyarakat Jawa.
Sejarah tradisi Ketupat berakar dari budaya Jawa, yang dipercaya sebagai bentuk penghormatan sekaligus ungkapan rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang diperoleh setelah menjalani ibadah puasa selama bulan Ramadan. Tradisi ini dikenal sebagai Bakda Lebaran dan Bakda Kupat, yang diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga sebagai bagian dari usaha Walisongo dalam menyebarkan ajaran Islam di Nusantara. Pelaksanaan bakda lebaran bertepatan dengan satu Syawwal sedangkan bakda kupat dilaksanakan satu minggu setelah lebaran Idul Fitri.
Ketupat diyakini berasal dari kebiasaan masyarakat Jawa yang mengadakan kenduri. Kenduri ini yang menjadi cikal bakal dari tradisi kupatan. Secara ritual, ketupat menjadi simbol penting dalam perayaan hari raya Idul Fitri, yang dilaksanakan pada tanggal 8 Syawal, seminggu setelah Idul Fitri. Ketupat sendiri merupakan makanan berbahan dasar beras yang dibungkus anyaman janur (daun kelapa muda) berbentuk kantong persegi empat, lalu direbus dan disajikan sebagai pengganti nasi. Makanan ketupat sendiri diyakini sudah dikenal oleh masyarakat Jawa jauh sebelum agam Islam datang, yaitu masa Hindu-Buddha. Pada masa itu, ketupat sering dihadirkan dalam ritual agama Hindu dan sering dikaitkan dengan pemujaan Dewi Sri (dewi padi).
Ketupat sebagai hidangan wajib dalam tradisi kupatan, memiliki makna filosofis mendalam bagi masyarakat Jawa. Kata "ketupat" berasal dari "jarwa dhosok," yang berarti "ngaku lepat" atau mengakui kesalahan. Makna ini tergambar dalam anyaman janur kuning yang diisi beras, dimasak, lalu disantap bersama setelah prosesi doa. Selain dimaknai sebagai "mengakui kesalahan", ketupat juga memiliki arti "empat tindakan" yang dikenal sebagai "laku papat". Laku papat ini terdiri dari empat aspek penting, yaitu lebaran, luberan, leburan, dan laburan. Lebaran melambangkan pembukaan pintu maaf selebar-lebarnya, serta menjadi simbol perayaan berakhirnya bulan puasa dengan hidangan ketupat. Luberan mengajak kita untuk berbagi rezeki dengan sesama melalui sedekah, mencerminkan semangat berbagi dan kepedulian. Leburan menekankan pentingnya saling memaafkan kesalahan, membersihkan diri dari dosa, dan memulai lembaran baru. Terakhir, laburan mengajarkan kita untuk menjaga kesucian diri dan bertindak jujur setelah proses saling memaafkan. Dengan demikian, ketupat tidak hanya menjadi hidangan khas, tetapi juga membawa pesan mendalam tentang nilai-nilai luhur dalam kehidupan.
Selain makna filosofis, terdapat juga makna simbolik yang terkandung dari tradisi ketupatan. Anyaman janur yang rumit menunjukkan kesalahan manusia. Isian ketupat yang berupa nasi putih mencerminkan kebersihan, kemakmuran, kebahagiaan, dan kemurnian hati manusia setelah memaafkan orang lain. Ketupat yang berbentuk seperti berlian melambangkan kemenangan umat Islam setelah sebulan bepuasa menjelang Idul Fitri. Janur sebagai pembungkus ketupat yang berwarna hijau kekuningan dianggap sebagai salah satu penolak nasib buruk. Proses menggatung ketupat setelah dimasak di depan rumah dilambangkan sebagai salah satu bentuk/tradisi mengusir roh jahat. Dalam proses pembuatan ketupat, terdapat variasi yang menarik, salah satunya adalah penggunaan santan sebagai pengganti air dalam proses perebusan. Santan di sini tidak hanya berfungsi sebagai bahan masakan, tetapi juga mengandung makna simbolis yang mendalam, yaitu permintaan maaf. Dalam bahasa Jawa, santan disebut "santen," yang memiliki kemiripan bunyi dengan kata "pangapunten," yang berarti maaf. Ungkapan ini diperkuat oleh sebuah puisi Jawa yang berbunyi "kulo lepat nyuwun ngapunten", yang secara langsung menyatakan "Saya minta maaf, saya melakukan kesalahan." Dengan demikian, penggunaan santan dalam ketupat menjadi simbolisasi dari permohonan maaf dan pengakuan kesalahan.
Sebagai makanan tradisi, ketupat memiliki berbagai nama dan penyajian yang berbeda, terutama di pulau Jawa sendiri. Di Jawa Tengah disebut sebagai Ketupat Sumpil. Ketupat ini memiliki bentuk unik seperti segitiga atau piramida kecil, menyerupai hewan sungai bernama "sumpil," yang menjadi asal namanya. Selain itu, bentuk segitiganya melambangkan hubungan spiritual antara manusia dengan Tuhan dan hubungan antar sesama manusia. Di Kaliwungu, Kendal, ketupat ini disajikan saat Maulid Nabi, melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama, serta mempererat silaturahmi. Sementara itu, di Purworejo dan Kebumen, ketupat sumpil lebih sering dihidangkan saat Idul Fitri sebagai hidangan istimewa. Di Temanggung, makanan ini sering disajikan dalam perayaan pernikahan dan dipercaya sebagai jimat oleh masyarakat setempat. Biasanya, Ketupat Sumpil dinikmati dengan taburan kelapa parut atau serundeng (kelapa parut berbumbu).
Berbeda di Jawa Tengah, di Jawa Barat ketupat biasa disebut sebagai “kupat”. Kupat di Jawa Barat dihidangkan bersama dengan tahu, oleh karena itu masyarakat biasa menyebutnya dengan kupat tahu. Kupat tahu tidak hanya menjadi hidangan khas setelah Idul Fitri, tetapi juga populer sebagai menu sarapan sehari-hari. Kupat tahu terdiri dari berbagai bahan, yaitu ketupat, tahu goreng, sayuran, tauge, dan saus kacang. Untuk menambah rasa, bisannya ditambahkan pula kecap asin dan sambal untuk memberikan rasa manis dan pedas.
Di Jawa Timur, lebih tepatnya Malang ketupat lebih terkenal dengan nama “orem-orem”. Orem-orem memiliki ukuran yang lima kali lebih besar dari ketupat yang biasanya. Orem-orem disajikan dengan santan, tauge, dan irisan tempe kecil. Selain itu, rasanya akan lebih nikmat jika disantap dengan tambahan keripik tempe.
REFERENSI
Hakiki, Ach. (2023). Akulturasi Tradisi Kupatan Lebaran di Malaysia: Identitas Diaspora Muslim Jawa. Tesis. Universitas Indonesia: Depok, Jawa Barat.
Maghfiroh, A., & Nurhayati, N. (2023). Makna Kultural Kepercayaan Masyarakat Jawa terhadap Ketupat di Momen Lebaran: Kajian Antropologi Linguistik. Madah: Jurnal Bahasa Dan Sastra, 14(2), 216–228. https://doi.org/10.31503/madah.v14i2.640
Nasution, I. E., Khofila, R., Azmi, M. U., Nasution, M. S. A., & El Islamy, I. (2023). Akulturasi Islam Pada Budaya Kenduri Ketupat Pada Bulan Ramadhan. An-Nadwah, 29(1), 22-33. http://dx.doi.org/10.37064/nadwah.v29i1.15266
Rianti, A., Novenia, A. E., Christopher, A., Lestari, D., & Parassih, E. K. (2018). Ketupat as traditional food of Indonesian culture. Journal of Ethnic Foods, 5(1), 4-9. https://doi.org/10.1016/j.jef.2018.01.001
Sriyana, S., & Suprapti, W. (2024). MAKNA SIMBOLIK DAN KULTURAL TRADISI LEBARAN KETUPAT BAGI MASYARAKAT JAWA. JURNAL SOCIOPOLITICO, 6(2), 120-132. https://doi.org/10.54683/sociopolitico.v6i2.137
Comentarios