Penulis : Victoria Geraldine
Editor : Diannisa NR
Siapa sih yang tidak tahu masjid? Masyarakat luas telah mengenal masjid sebagai tempat beribadah umat beragama Islam. Namun, fungsi masjid bukan hanya itu. Masjid juga merupakan pusat pengajaran dan pengembangan syariat Islam. Oleh karena itu, terdapatnya masjid-masjid besar di suatu daerah menandakan terdapatnya kehidupan Islam di tempat tersebut, serta dapat menjadi bukti pernah berdirinya suatu kerajaan Islam. Tidak hanya itu, unsur-unsur fisik pada bangunan masjid juga dapat mencerminkan interaksi kebudayaan yang berlangsung di masa lalu.
Gambar 1. Masjid Merah Panjunan (Sumber: https://www.kompasiana.com/mamabeluang/5da53268297d6872a179b772/suatu-sore-di-masjid-merah-panjunan)
Masjid Merah Panjunan adalah salah satu contoh masjid kuno yang sampai sekarang masih dapat dijumpai di Cirebon. Masjid ini adalah peninggalan dari kesultanan Cirebon yang muncul pada akhir abad ke-15. Nama Masjid Merah Panjunan didapatkan dari ciri khas dindingnya yang berwarna merah dan tempat pembangunannya, yaitu di Panjunan. Berdasarkan sejarah awalnya, masjid ini dulunya hanya berbentuk surau yang dibangun sebagai tempat ibadah kaum muslim yang bermukim di daerah Panjunan. Namun saat ini, kita dapat melihat Masjid Merah Panjunan sebagai sisa kejayaan kesultanan Cirebon. Tidak hanya itu, masjid ini juga merupakan bukti campur aduk budaya yang hadir dalam masyarakat Cirebon di masa lalu. Bangunan masjid menunjukkan adanya percampuran antara ciri bangunan Islam dengan unsur-unsur arsitektur yang dapat ditemukan pada masa sebelumnya, yaitu masa Hindu-Buddha. Selain itu, dapat ditemukan juga unsur bangunan yang menunjukkan pernah hadirnya budaya Cina dan Eropa di Cirebon. Banyaknya campur aduk budaya disebabkan oleh letak geografis kota Cirebon yang strategis sehingga pelabuhannya menjadi tempat yang ramai didatangi oleh pedagang asing. Ketika datang, mereka membawa budayanya masing-masing dan interaksi mereka dengan penduduk lokal menyebabkan terjadinya akulturasi budaya.
Gambar 2. Candi bentar pada pintu masuk masjid (Sumber: https://merahputih.com/post/read/masjid-merah-panjunan-jejak-migrasi-arab-di-cirebon)
Kehadiran pengaruh masa Hindu-Buddha pada bangunan masjid terlihat pada dinding yang mengelilingi masjid. Dinding tersebut terbuat dari batu bata berwarna merah dan dikenal dengan sebutan kuta kosod. Di sebelah timur kuta kosod, dapat ditemukan gerbang masuk area masjid. Gerbang tersebut menunjukkan pengaruh arsitektur yang berasal dari masa Hindu di Jawa, karena bentuknya serupa dengan candi bentar, yaitu jenis gerbang tidak beratap yang dapat ditemukan di Trowulan dan pura di Bali. Menurut Hermana (2012), digunakannya bentuk candi bentar pada kuta kosod adalah upaya untuk menunjukkan sikap toleransi pemeluk agama Islam terhadap pemeluk agama lain.
Gambar 3. Atap Masjid Merah Panjunan (Sumber: Hermana, 2012)
Atap bangunan masjid juga menunjukkan adanya perpaduan antara gaya arsitektur dari masa Hindu-Buddha di Jawa dengan gaya arsitektur Jawa. Gaya arsitektur Jawa tercermin pada atap yang terbuat dari bahan sirap dengan susunan bertumpang dua. Sementara itu, bentuk dari atap tersebut yang berupa kubah dengan bentuk piramida bukan merupakan pengaruh langsung dari gaya arsitektur asing, melainkan hanya bentuk yang terinspirasi dari bentuk piramida yang ada di Mesir. Di atas piramida, terdapat mamolo dengan bentuk mahkota raja. Bentuk ini adalah gaya arsitektur Jawa yang diambil dari cerita wayang yang pertama kali berkembang di masa Hindu-Buddha. Oleh karena itu, dalam bentuk tersebut masih terkandung unsur-unsur kehinduan.
Gambar 4. Soko guru dan soko rawa pada ruang shalat utama masjid (Sumber: https://www.aroengbinang.com/2017/12/masjid-merah-panjunan-cirebon.html)
Di dalam bangunan masjid, dapat ditemukan tiang-tiang penyangga yang dibedakan menjadi soko rawa dengan bentuk segi empat dan soko guru dengan bentuk silinder. Hampir sebagian besar tiang tersebut ditemukan di ruang shalat utama–ruangan yang hanya digunakan pada hari-hari besar. Soko rawa, atau tiang utama, hanya berjumlah empat, sedangkan soko guru berjumlah delapan. Selain untuk menopang atap masjid, tiang-tiang tersebut juga melambangkan kewajiban umat muslim untuk melaksanakan shalat karena shalat adalah tiang agama dan orang yang meninggalkan shalat berarti merubuhkan agamanya. Adanya perbedaan bentuk tiang yang fungsinya sama disebabkan oleh makna simbolik di dalamnya. Menurut Ardianto, dkk (2008), bentuk segi empat soko rawa adalah simbol untuk perempuan, sedangkan bentuk silinder soko guru adalah simbol untuk laki-laki. Ketika disatukan, kedua bentuk tiang tersebut memiliki makna kesuburan. Konsep ini dikenal juga dalam Hindu yang simbolisasinya diwujudkan dalam bentuk lingga dan yoni.
Gambar 5. Pintu pada dinding paduraksa (Sumber: https://www.aroengbinang.com/2017/12/masjid-merah-panjunan-cirebon.html)
Selain itu, percampuran budaya dalam ruang shalat utama juga terlihat pada dindingnya, terutama dinding paduraksa. Pada dinding paduraksa, terdapat pintu yang memisahkan ruang shalat utama dengan serambi yang terletak di sebelah timurnya. Dinding paduraksa dinamakan demikian karena bentuk pintunya yang menyerupai bentuk gapura paduraksa atau kori agung–bentuk gerbang dengan atap penutup yang sering ditemukan pada bangunan-bangunan Hindu-Buddha di Jawa dan Bali.
Gambar 6. Ornamen keramik pada pilar di ruang shalat utama masjid (Sumber: https://www.aroengbinang.com/2017/12/masjid-merah-panjunan-cirebon.html)
Gambar 7. Ornamen keramik pada mihrab (Sumber: https://www.aroengbinang.com/2017/12/masjid-merah-panjunan-cirebon.html)
Di samping itu, dinding paduraksa juga dihias oleh ornamen berupa keramik. Selain pada dinding paduraksa, keramik juga dapat ditemukan pada dinding lainnya di ruang shalat utama dan serambi, serta pada pilar-pilar. Keramik yang dipasang pada dinding tersusun dalam dua baris atas-bawah, sedangkan keramik pada pilar disusun menurun (kolom). Jenis keramik yang digunakan sebagian besar adalah keramik berbentuk piring berukuran besar, sedang, dan kecil, tetapi ada pula keramik berbentuk mangkuk. Bentuknya dapat dibagi menjadi bulat dan persegi, dengan motif dan warna yang beragam. Terdapat keramik dengan motif gambar burung merak, singa yang menginjak ular, dan dua ekor naga yang melingkari piring. Namun, sebagian besar dari keramik tersebut memiliki motif dengan unsur flora, fauna, dan geometris. Sementara itu, warna keramik yang ditemukan di antaranya adalah warna biru tua, biru muda, merah, hijau, hijau tua, kuning, dan oranye.
Analisis yang dilakukan terhadap motif dan warna keramik pada Masjid Merah Panjunan menunjukkan asal dari keramik tersebut. Di antaranya, terdapat keramik yang berasal dari Belanda dan diproduksi oleh J. & M. P. Bell & Co. Ltd. Terdapat pula keramik yang berasal dari Cina. Secara keseluruhan, keramik yang digunakan sebagai ornamen masjid berasal dari abad 17-19 Masehi.
Keberadaan keramik dari Belanda menunjukkan hubungan yang terjalin antara kesultanan Cirebon dengan Belanda yang diwakili oleh VOC. Sementara itu, keberadaan keramik Cina dapat menunjukkan kegiatan perdagangan pada masa itu, di mana produk impor yang sangat populer adalah keramik dari Cina. Namun, keramik Cina juga dapat menunjukkan ikatan yang dimiliki oleh Cirebon dengan Cina sebagai hasil dari perkawinan antara Syarif Hidayatullah dengan Putri Ong Tien.
Sumber:
Ardianto, E., dkk. (2008). Akulturasi Budaya Cina, Arab, dan Melayu pada Arsitektur Cirebon: Studi Kasus Pecinan dan Masjid Merah Panjunan. In P. Salura, & Y. Gunawan, Arsitektural Vernakular Seri 2: Pertemuan Arsitektur Pantai (hh. 11-23). Bandung: Cipta Sastra Salura.
Budi, B. S. (2015). Catatan-catatan pada Masjid Panjunan Cirebon. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015, 9-20.
Hermana. (2012). Arsitektur Masjid Merah Panjunan Kota Cirebon. Patanjala, 4(2), 151-167.
Murdihastomo, A., & Bauty, I. (2020). Konstruksi Sosial Masyarakat Terhadap Keramik Asing di Bangunan Masjid Panjunan, Cirebon. Purbawidya, 9(1), 63-78.
Comments