Penulis : Ansell Josia
Penyunting : Irfan Maulana
Aqueduct ( Bahasa Indonesia : Akueduk, tetapi pada tulisan ini penulis akan terus menggunakan kata aqueduct ) adalah sebuah sistem pengairan yang membawa air dari sumber air seperti sungai atau mata air pegunungan menuju perkotaan. Konstruksi kanal kemudian dibuat secara presisi sehingga hanya dengan mengandalkan gravitasi, air dapat mengalir langsung ke dalam kota. Akibatnya? Air dapat diakses oleh 1 Juta penduduk kota Roma (dan kota jajahannya) dengan mudah. Air dapat digunakan sebagai irigasi pertanian, akses air minum dan kebersihan, tempat mandi publik, pembangunan infrastruktur, air mancur, hingga dapat digunakan untuk mengisi Colosseum dengan air untuk simulasi pertarungan atas air.
Ilustrasi Naumachiae (pertarungan atas air) di colosseum
Akses air tentu menjadi hal yang sangat vital bagi kehidupan manusia. Pada masa modern ini, kita sudah memiliki sistem pengairan pipa ataupun pompa air di rumah masing-masing. Akan tetapi, ribuan tahun yang lalu hanya kota di pinggir sungai yang memiliki akses air. Kebersihan air sungai di pinggir kota pun dipertanyakan, mengingat satu sungai digunakan beramai-ramai untuk minum, mencuci, membersihkan hewan, mandi, dan membuang sampah dapur maupun pribadi.
Era medieval di Inggris ( Abad ke-5 hingga ke-15 ) terkenal dengan akses airnya yang sulit sehingga kebersihan masyarakat jadi masalah besar. Mandi adalah kemewahan yang hanya bisa dinikmati segelintir orang, sehingga wabah penyakit pun bermunculan (rata-rata angka harapan hidup hanya sampai umur 30 tahun pada saat itu). Sementara itu, bangsa Romawi pada abad pertama sudah dapat menikmati akses air yang lancar di rumah mereka masing-masing. Hal ini tentu berpengaruh kepada moral dan budaya kehidupan pada saat itu. Tidak perlu heran mengapa bangsa Romawi sangat berkuasa pada masanya.
Membangun peradaban di sekitar sungai bukan menjadi praktik yang baru. Mesir Kuno menjadi salah satu contoh yang paling relevan, sungai nil memberikan akses air bagi segala aspek kehidupan masyarakat, mulai dari air minum, mandi, irigasi pertanian, pengolahan makanan, hingga media transportasi air. Akan tetapi, hidup di sepanjang sungai tentu bukan kemewahan yang dapat dinikmati semua bangsa, oleh karena itu sistem kanal tentu harus di realisasikan. Nusantara sendiri sudah mengadopsi pembuatan kanal sejak dahulu kala. Salah satu catatannya terdapat pada masa pemerintahan Raja Purnawarman pada kerajaan Tarumanegara, yaitu saat dikeruknya sungai Citarum pada tahun 419 Masehi sebagai upaya mitigasi banjir dan solusi akses air bagi masyarakatnya. Cara itu tentu saja memakan waktu dan biaya yang besar, serta praktik yang unortodoks untuk di aplikasikan terhadap bangsa yang terus melakukan ekspansi ke daerah sekitarnya seperti Roma. Oleh karena itu, sekali lagi, konstruksi aqueduct sangatlah efisien pada masanya.
Insinyur pada masa itu juga perlu mendapat pujian karena rancangan teknik sipil mereka yang sangat presisi. Aqueduct dapat dibangun ratusan kilometer jauhnya bahkan dapat mengairi kota yang berada di atas pegunungan sehingga terkesan melawan gravitasi. Tenaga kerja tentu bukan menjadi masalah saat itu, mengingat suplai budak dapat terbilang tidak terhingga, sehingga pekerjaan yang berat tidak akan menjadi masalah. Mengutip Ken Follet dalam “The Pillars of the Earth”, bagian paling mahal dari bangunan adalah kesalahannya. Oleh karena itu, mengukur jarak tiap interval dalam aqueduct bukan jadi permasalahan sepele. “All Roads Lead to Rome” tetap menjadi peribahasa yang relevan pada saat ini, mengapa? Karena peribahasa itu keren, layaknya aqueduct.
Sumber :
Gargarin, M. and Fantham, E. (editors). The Oxford Encyclopedia of Ancient Greece and Rome, Volume 1. p. 145.
H. Chanson, "Hydraulics of Roman Aqueducts: Steep Chutes, Cascades, and Drop Shafts," American Journal of Archaeology, Vol. 104 No. 1 (2000)
Comentários